Christiano Ronaldo atau yang lebih dikenal dengan julukan CR-7 akhirnya hijrah dari sarang Red Devils menuju barisan Los Blancos di Bernabeu, Madrid. Nilai transfernya adalah 94 juta euro atau sekitar 1,3 trilyun rupiah, dan ini artinya merupakan rekor tertinggi dalam sejarah nilai transfer sepakbola sejagat. Banyak pihak yang meradang dengan tingginya nilai transfer ini, termasuk dari sebagian masyarakat Spanyol, tempat klub Real Madrid bermarkas.
Tapi apakah nilai transfer itu terlalu tinggi dan layak mengundang kontroversi? Atau sebaliknya : justru terlalu rendah? Apapun jawabannya, fenomena transfer CR 7 itu memberikan dua poin pelajaran yang amat penting bagi wacana human capital. Dan juga bagi pemahaman kita akan pentingnya modal insani (human capital) dalam pengelolaan organisasi yang unggul. Mari kita diskusikan bersama dua poin pembelajaran esensial itu disini.
Poin pelajaran yang pertama adalah ini : nilai transfer CR 7 yang amat melambung itu sejatinya justru merupakan pembenaran tentang betapa pentingnya value manusia dalam segenap proses pengembangan organisasi – entah organisasi itu berupa perusahaan, organisasi publik ataupun klub sepakbola.
It’s human capital, stupid. Begitu kalimat yang mungkin bisa dilayangkan bagi mereka yang meradang dengan nilai transfer itu. “Harga kompetensi manusia” memang sejatinya harus mahal sebab ia merupakan aset paling utama yang akan mampu memberikan kontribusi luar biasa bagi jatuh bangunnya sebuah organisasi.
Dengan kata lain, investasi 1,3 trilyun rupiah itu niscaya menjadi sangat reasonable manakala CR 7 bisa kembali menujukkan kejeniusaannya (dan kita percaya ia bisa). Ini artinya, uang itu dengan segera segera dapat ditebus dengan value added dan kontribusi yang diberikan oleh CR 7 bagi klub Real Madrid; baik berupa membanjirnya jumlah pentonton, sponsor dan juga royalti dari tayangan televisi.
Pertanyaannya sekarang : dalam konteks Anda sendiri, berapa kira-kira “nilai transfer” yang layak Anda miliki? Maksudnya jika ada perusahaan lain yang tertarik dengan talenta Anda dan ingin membajak Anda, berapa nilai transfer yang layak Anda patok? 100 juta? 1 milyar? Atau 5 milyar?
Tinggi rendahnya nilai yang Anda berikan menunjukkan seberapa penting “kompetensi” Anda bagi perusahaan. (Barangkali asyik juga jika kelak perusahaan mengadopsi sistem tranfer dalam perpindahan para top manajer-nya. Sebab daripada bajak membajak yang ndak etis dan saling merugikan, sistem transfer ini membuat semua pihak bisa win-win. Dan aha, mekanisme pasar ini juga bisa memberitahu tahu berapa nilai transfer kita yang paling layak).
Poin pembelajaran yang kedua adalah begini : dalam mengelola SDM menuju keunggulan organisasi, kita harus bersikap diskriminatif. Maksudnya, kita harus benar-benar membedakan antara top performers dengan poor perfomers. Bayangkan misalnya, jika CR 7 kita minta bermain dengan Ponaryo Astaman dkk di Liga Indonesia. Yang akan terjadi, kompetensi CR 7 pelan-pelan akan mati lantaran ia tidak mendapat dukungan setara dari rekan kerjanya.
Begitulah, jika kita selalu membiarkan poor players berada dalam tim kerja kita, pelan-pelan mereka bisa merusak irama permainan dan sekaligus membunuh potensi para top performers. Dan disini klub sepakbola kembali memberikan contoh yang amat sempurna tentang bagaimana mengelola para poor performers.
Dalam liga sepakbola, sudah sangat lazim para pemain yang sudah tidak perform pelan-pelan dibangkucadangkan, atau kemudian dibuang ke klub yang lebih rendah levelnya. Sungguh, inilah praktek manajemen SDM yang paling elegan dan paling simple untuk menciptakan tim yang tangguh : selalu menyerap great players, dan secara reguler membuang orang yang buruk kinerjanya.
Dan persis itulah yang diadopsi oleh Jack Welch ketika ia dulu memimpin GE. Setiap tahun ia selalu membuang (baca : memecat) 10% karyawannya yang berada pada bottom performance. Alasannya sudah jelas : membiarkan poor perfomers tetap berada dalam tim akan merusak irama permainan. Dan ini sunggguh berbahaya.
Namun ketika praktek itu coba diterapkan dalam manajemen perusahaan, banyak orang berteriak menentangnya. Ndak manusiawi, demikian salah satu alasannya. Wuih, mulia banget alasannya (!) Maksud saya, selama bertahun-tahun praktek semacam ini telah diterapkan oleh klub sepakbola dimanapun didunia, dan sudah dianggap sesuatu yang amat lazim. Jadi, mengapa kita, para pengelola manajemen SDM diperusahaan, tidak bisa meniru contoh yang amat baik ini?
Sebab, bukankah tujuan sebuah klub sepakbola dan perusahaan bisnis sejatinya sama : yakni sama-sama berhasrat membangun sebah tim yang unggul dan senantiasa bisa mengibarkan bendera kemenangan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar