DINI

Jumat, 02 April 2010

The Econommics of Cristiano Ronaldo

June 13th, 2009 | News

The  Economics of Cristiano Ronaldo

Jual beli pemain bola mirip-mirip dengan jual beli saham. Membeli pemain di peak performance bisa dibilang bad timing, sama seperti membeli saham di harga tertingginya. Membeli pemain di puncak permainannya memang bisa jadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia mungkin bisa berpotensi mendongkrak prestasi klub barunya. Tapi di sisi lain, ia pasti dibanderol dengan harga premium melebihi harga wajarnya.

Setelah mendapatkan Kaka seharga £56 juta kini Madrid menggaet Ronaldo di harga £80 juta. Jumlah yang sebenarnya luar biasa fantastis, sekalipun untuk seorang pemain top kelas dunia. Pembelian ini konon memberikan keuntungan bersih sekitar £67,5 bagi Glazer family, pemilik Manchester United. Untuk ukuran sebuah klub sepakbola—-apalagi di jaman krisis seperti sekarang—-angka tersebut tentu saja luar biasa.

Menurut penelitian Stefan Szymanski (Cass Business School, London), korelasi antara transfer pemain dengan peringkat klub di liga sebenarnya hanya sekitar 16% saja. Sebaliknya, pengeluaran untuk membayar gaji korelasinya cukup signfikan, sekitar 92%. Makin tinggi klub berani membayar pemainnya, biasanya makin tinggi pula peringkatnya di liga. Namun, berapa besar jumlah yang dibayarkan dalam bentuk transfer fee rasanya tidak terlalu memberikan kontribusi signifikan.

Sayangnya para manajer dan pemilik klub rasanya jarang membaca jurnal dan riset ilmiah semacam ini. :)

Jujur saja, saya fans Real Madrid sejak sekitar tahun 1996—-bukan seperti kebanyakan orang yang baru kenal Madrid di era Galacticos. Di musim 1996 itu Madrid masih diperkuat Santiago Canizares, Fernando Hierro, Manuel Sanchis, Fernando Redondo, Ivan Zamorano, disusul kemudian masuknya Roberto Carlos, Clarence Seedorf, dan duo Predrag Mijatovic-Davor Suker. Di masa itu, Guti dan Raul Gonzales masih sama-sama debutan.

Tapi sepanjang yang saya tahu, sejarah Real Madrid memang selalu unik. Selain punya prestasi segudang, Madrid juga punya rekor panjang dalam hal pembelian pemain yang memecahkan rekor transfer. Tak sedikit transfer pemain yang dilakukan secara cukup kontroversial, seperti Luis Figo yang dicomot dari Barcelona atau David Beckham dan Kaka yang sebelumnya dianggap banyak orang “untouchable” di klub masing-masing. Selain itu, baik pemain maupun pelatih sama-sama punya turnover tinggi di Madrid.

Tetap saja, Real Madrid tidak pernah kapok membeli pemain dengan harga premium. Nampaknya, Madrid selalu punya cara untuk meng-cover pembelian itu—-entah dari kontrak hak siar, penjualan merchandise, atau pertandingan persahabatan. Dampak negatifnya, pemain binaan akademi sendiri seolah jadi anak tiri. Sebut saja Roberto Soldado atau Juan Manuel Mata yang malah berkembang (dan berlipat ganda harganya) di klub lain. Akibatnya, setelah era Raul dan Casillas, tidak ada lagi icon Madrid yang bisa dibanggakan.

Memang benar bahwa pasar transfer pemain bola bisa dibilang irasional. Di pasar ini, tujuan jual-beli pemain tidak selalu untuk profit maximization. Bisnis pada umumnya biasanya selalu sengit dalam kompetisi. Kesalahan setitik saja bisa berujung kebangkrutan. Tapi bisnis sepakbola berbeda. Kerugian atau kesalahan fatal pun jarang berujung pada kebangkrutan, merjer, atau akuisisi oleh klub lain. Sekalipun mereka punya rasio utang yang tinggi, rasanya tak ada yang perlu dikuatirkan.

Irasionalitas lain biasanya juga nampak pada posisi pemain yang dijualbelikan. Penyerang dan pemain tengah lazimnya dihargai jauh lebih mahal daripada penjaga gawang dan pemain bertahan—-walaupun baik penyerang dan penjaga gawang memegang peranan sama pentingnya. Selain itu, pemain dari negara sepakbola (seperti Brazil, Argentina, Italia, Spanyol, Portugal) cenderung dihargai lebih mahal daripada pemain dari negara “asing” seperti Mesir atau Albania misalnya.

Betapapun, Madrid adalah klub dengan bentuk demokrasi populis yang unik. Real Madrid dimiliki oleh sekitar 70 ribu socios, bukan oleh pemegang saham. Florentino Perez dipilih oleh mereka dan sudah tentu pembelian Kaka dan Ronaldo adalah cara untuk menjawab amanah mereka. Tentu “wajar” kalau pembelian pemain seringkali tidak masuk di akal. Siapapun presidennya, apapun akan dilakukan demi memuaskan fans, sponsor, dan media setempat. Padahal Perez tentu masih ingat bahwa Galacticos bentukannya di era 2003-2006 tidak banyak memberi prestasi.

Tapi itulah Real Madrid. Mereka tak melulu mengejar uang. Ada kebanggaan, gengsi, dan prestise yang seringkali harus dinomorsatukan. Madrid tahu bahwa brand mereka terlalu kuat untuk bangkrut begitu saja. Madrid selalu punya cara untuk mengembalikan return on investment mereka. Inilah yang mungkin menjelaskan mengapa uang £80 juta sekalipun dianggap lumrah hanya untuk seorang pemain. Inilah the economics of Cristiano Ronaldo.

Sementara untuk Manchester United, ada “teori” yang mengatakan bahwa pemain yang cemerlang lalu meninggalkan Theatre of Dreams tidak akan pernah bisa mendapatkan kesuksesannya kembali. Sebut saja George Best, Lee Sharpe, Jaap Stam, Andrei Kanchelskis, bahkan David Beckham sekalipun. Best, Kanchelskis, Beckham—-dan sekarang Ronaldo—-bahkan sama-sama menggunakan nomor punggung “keramat” 7. Menarik untuk ditunggu siapa incaran Ferguson untuk mengganti CR7. Tapi yang juga tak kalah seru adalah menyimak bagaimana dua matahari terbit di Bernabeu nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar